Rabu, Februari 04, 2009

"Demokrasi yang bukan Demokrasi"

Baru saja kita mendengar,Membaca dan menyaksikan di televisi bahwa seorang Ketua DPRD di republik ini yaitu Ketua DPRD Sumatera Utara tewas dikeroyok massa yang berdemo di gedung DPRD Sumatera Utara. Inilah salah satu dari sekian banyak potret, wujud atau penampakan dari demokrasi yang dielu-elukan para reformis di tahun 1998-1999. 

Dapat pula kita gambarkan era reformasi ini diwarnai adu jotos antara anggota dewan, mahasiswa yang beperilaku anarkis, massa yang brutal dan lain sebagainya. Hal ini adalah dampak suatu reformasi demokrasi yang dibangga-banggakan di tahun 1998-1999 namun sama sekali menciderai demokrasi yang sesungguhnya.

Perlu diingatkan kembali bahwa jauh sebelum manusia di era milenium ini lahir, bangsa ini sudah terkenal dengan ETIKA bermusyawarah untuk mufakat terhadap suatu masalah yang melanda. Bahkan di era orde baru (bukan memihak yaa...) telah dilakukan suatu usaha penanaman benih-benih musyawarah, etika bermasyarakat dan bernegara ke dalam setiap putra putri bangsa yang belum bisa dilaksanakan pada watu orde lama yaitu melalui mata pelajaran PMP (masih ingat pak,bu, saudara...Pendidikan Moral Pancasila). 

Kebanyakan Manusia yang mengaku reformis dengan fakta di atas nampaknya sudah tidak lagi mendasarkan perilakunya kepada MORAL PANCASILA. Bahkan mungkin sudah tidak mengerti dengan Pancasila itu sendiri, Bahkan yang ada hanyalah kata "kebebasan" yang mendasari perilaku Demokrasinya.

Burung Garuda hanya sebagai lambang semata yang menempel didinding setiap kantor di negeri ini, tapi LIMA SILA yang tergantung di leher burung garuda itu hanya TINGGAL KENANGAN SAJA. 

Kaum reformis mengatakan setiap manusia dilindungi hak bicaranya, bahkan dunia dengan HAM nya akan membebaskan seseorang untuk berbicara. tapi pertanyaannya berbicara yang bagaimana dulu? Mari kita analogikan seperti ini. Apakah sama musyawarah anak kecil dengan musyawarah orang dewasa sehingga karena menjunjung tinggi azaz demokrasi anak-anak bisa satu meja dengan orang dewasa?

Atau apakah Forum BEM sama dengan Forum DPRD sehingga Mahasiswa bisa satu Meja Dengan Pejabat DPRD? apalagi para kuli, buruh, nelayan bahkan preman pasar yang pada kehidupannya sehari-hari lebih banyak memporsir otot dari pada otak?

Bukan maksudnya merendahkan mereka, namun mari kita beretika dalam berdemokrasi. hidupkan kembali moral Pancasila yang sudah menipis. bukankah sila keempat mengamanatkan agar "Kerakyatan Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan?" Apa yang terjadi sekarang ini, masyarakat/rakyat mengekspresikan keinginan mereka dengan cara mereka masing-masing yang tentu saja belum tentu cocok di segala forum. lihatlah! di TV perbuatan anarki massa yang jauh dari nilai-nilai sila ke 4 ini.

Masyarakat harusnya jangan mau dipimpin oleh orang yang hanya bisa menjadikan kita "pion" yang siap dikorbankan untuk kepentingan dirinya. tapi pilihlah seorang pemimpin yang bisa mewakili suara kita diforum manapun di negeri ini. Kalau tidak piawai ganti cepat tentunya kembali dengan musyawarah. 

Ada pihak yang berpedapat, pada saat suara tidak didengar, ada kepentingan yang tidak terakomodir maka DEMO dan pengerahan massa adalah salah satu jalan efektif untuk merealisasikannya. Inilah akibat melaksanakan PEMILU secara LANGSUNG. Sehingga untuk menyampaikan aspirasi ya terpaksa langsung juga. Padahal AManat Sila ke 4 rakyat dipimpin dengan sistem perwakilan. Lain halnya bila ada pemimpin yang menjadi wakil kita. Kita tidak perlu berdemo cukup melakukan rapat intern mungkin digedung atau dibawah pohon lalu perwakilan tadi tinggal berangkat. 

Saya belum pernah melihat ada rapat guru, yang ada siswa sebagai peserta rapat. Yang ada adalah walikelas menyampaikan aspirasi anak didiknya atau kondisi anak didiknya d forum rapat guru.

Jadi, sekarang ini yang terjadi nyatalah : "Demokrasi yang bukan demokrasi"